Vaksin DNA, yang sering disebut sebagai vaksin generasi ketiga, menggunakan DNA yang direkayasa untuk menginduksi respons imunologis pada pejamu terhadap bakteri, parasit, virus, dan kemungkinan kanker.
Vaksin tradisional
Vaksin yang saat ini tersedia untuk populasi global termasuk vaksin campak, gondok, rubella, virus influenza musiman, tetanus, polio, Hepatitis B, kanker serviks, difteri, pertusis, dan vaksin untuk penyakit lain yang endemik di wilayah tertentu di dunia. dunia.
Banyak dari vaksin ini memberikan kekebalan dengan menginduksi respon imun adaptif antigen-spesifik pada inang.
Lebih khusus lagi, vaksin ini memaparkan sistem kekebalan pada epitop yang berasal dari patogen, yang memungkinkan sistem kekebalan untuk mengembangkan antibodi yang dapat mengenali dan menyerang agen infeksi ini jika inang yang divaksinasi bertemu dengan patogen ini di masa depan.
Meskipun vaksin konvensional sangat penting untuk mencegah penyebaran berbagai penyakit yang sangat menular, pembuatan vaksin ini seringkali mengharuskan para peneliti menangani patogen hidup. Penanganan patogen ini tidak hanya dapat menimbulkan masalah keamanan bagi orang yang mengembangkan vaksin, tetapi risiko kontaminasi oleh patogen ini juga menjadi perhatian.
Tantangan yang terkait dengan pengembangan vaksin konvensional telah menyebabkan penyelidikan beberapa pendekatan vaksin alternatif yang dapat digunakan untuk penyakit menular dan tidak menular.
Salah satu vaksin alternatif yang cukup mendapat perhatian adalah vaksin berbasis DNA. Vaksin berbasis DNA dianggap lebih stabil, hemat biaya, dan lebih mudah ditangani daripada vaksin tradisional.
Bagaimana cara kerja vaksin DNA?
Seperti jenis vaksin lainnya, vaksin DNA menginduksi respon imun adaptif. Prinsip kerja dasar di balik setiap vaksin DNA adalah penggunaan plasmid DNA yang mengkode protein yang berasal dari patogen di mana vaksin akan ditargetkan.
Plasmid DNA (pDNA) tidak mahal, stabil, dan relatif aman, sehingga memungkinkan platform non-virus ini dianggap sebagai pilihan yang sangat baik untuk pengiriman gen. Beberapa vektor virus berbeda yang telah digunakan untuk sumber pDNA termasuk onco-retrovirus, lentivirus, adenovirus, virus terkait adeno, dan Herpes simplex-1.
Ketika injeksi intramuskular vaksin DNA diberikan, pDNA akan menargetkan miosit. Vaksin DNA juga dapat diberikan melalui injeksi subkutan atau intradermal, untuk menargetkan keratinosit. Terlepas dari tempat injeksi, pDNA akan mentransfeksi miosit atau keratinosit. Sel-sel ini kemudian akan mengalami apoptosis.
Sebuah sel yang mengalami apoptosis akan melepaskan fragmen-fragmen kecil yang terikat membran yang dikenal sebagai badan apoptosis. Badan-badan apoptosis ini memicu endositosis puing-puing seluler oleh sel dendritik yang belum matang (iDC). Aktivitas iDC kemudian dapat memulai generasi antigen eksogen, yang secara eksklusif disajikan oleh kelas histokompatibilitas utama II (MHCII).
Presentasi antigen ke MHCII mengaktifkan CD4 pembantu+ Sel T, yang berkontribusi pada pembentukan sel B dan akhirnya memungkinkan terciptanya respons imun humoral. Respon imun humoral ini diperlukan untuk mengaktifkan produksi CD8+ sel T.
Selain bekerja pada miosit atau keratinosit, rute pemberian vaksin DNA apa pun juga dapat mentransfeksi sel penyaji antigen (APC) yang terletak di dekat tempat suntikan. Rute transfeksi langsung ini menghasilkan ekspresi transgen endogen dan presentasi paralel antigen melalui MHCI dan MHCII, sehingga menghasilkan CD8+ dan CD4+ sel T.
Vaksin DNA apa yang saat ini sedang dikembangkan?
Saat ini, tidak ada vaksin DNA yang telah disetujui untuk digunakan secara luas pada manusia. Namun, beberapa vaksin berbasis DNA telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) untuk penggunaan hewan, termasuk vaksin melawan virus West Nile pada kuda dan vaksin melanoma untuk anjing.
Meskipun vaksin berbasis DNA belum disetujui untuk digunakan di masyarakat umum, beberapa uji klinis manusia yang sedang berlangsung pada vaksin DNA telah dilakukan. Menurut Perpustakaan Kedokteran Nasional AS, lebih dari 160 vaksin DNA yang berbeda saat ini sedang diuji dalam uji klinis manusia di Amerika Serikat. Diperkirakan 62% dari uji coba ini dikhususkan untuk vaksin kanker dan 33% diterapkan untuk vaksin melawan human immunodeficiency virus (HIV).
Salah satu uji klinis pertama pada vaksin DNA menyelidiki potensi efek terapeutik dan profilaksis dari vaksin DNA terhadap HIV. Meskipun beberapa tingkat imunogenisitas terdeteksi dalam percobaan ini, tidak ada respon imun yang signifikan yang ditemukan. Hipervariabilitas HIV memungkinkan virus ini menyerang sistem kekebalan inang melalui beberapa mekanisme berbeda.
Akibatnya, para ilmuwan yang berusaha mengembangkan vaksin berbasis DNA untuk melawan HIV telah menemukan bahwa beberapa strategi priming yang berbeda, agen penguat, dan jadwal injeksi yang diubah harus dievaluasi secara hati-hati untuk merancang vaksin DNA terbaik melawan HIV.
Arah masa depan
Meskipun banyak vaksin berbasis DNA saat ini sedang diuji pada manusia di seluruh dunia, beberapa tantangan masih menghalangi memungkinkan pendekatan vaksin ini diterjemahkan ke dalam klinik. Salah satu tantangan terbesar yang terkait dengan vaksin DNA adalah imunogenisitasnya yang rendah pada hewan dan manusia yang lebih besar.
Para peneliti percaya bahwa jumlah DNA yang lebih tinggi dalam kisaran 5 hingga 20 mg perlu disuntikkan ke manusia berukuran rata-rata untuk meningkatkan imunogenisitas vaksin berbasis DNA. Tantangan lain dari vaksin berbasis DNA melibatkan optimalisasi transfeksi, yang dapat dicapai melalui penggabungan beberapa parameter seperti promotor virus/eukariotik hibrida atau optimalisasi kodon antigen.
Secara bersama-sama, vaksin DNA yang ideal akan menghindari degradasi ekstraseluler dan berhasil memasuki inti sel target untuk menginduksi respon imun jangka panjang.
.
Discussion about this post